Ucapan “Namaste” menjadi sesuatu yang familiar bagi sekelompok kecil pendatang baru ke desa Satungal di Distrik Kathmandu pada 2 hari terakhir ini. Sebuah kata yang kerap diartikan “hai” atau “halo” bagi para tamu bukan saja diucapkan tetapi disertai senyuman pelengkap yang menyejukkan. Desa Satungal adalah tempat yang diputuskan bagi bantuan kemanusiaan bangsa dan Negara Indonesia dalam penanganan gempa Nepal 25 April 2015. Disitulah jejak-jejak kemanusiaan Indonesia yang kerap dibantu ketika terdampak bencana dipertaruhkan.
Pilihan menentukan daerah untuk dibantu bukan saja sulit dalam hal perijinan, namun yang membuat harus berhati-hati adalah untuk tidak salah melakukan “rapid need assessment” atau kaji cepat kebutuhan yang tepat agar tidak salah langkah. Secara faktual lapangan memang desa Satungal layak untuk ditolong karena sampai hari ke enam belum ada bantuan kemanusiaan terstruktur yang menghampiri. Penduduk dan para pemimpin desa juga sudah berusaha menghubungi banyak pihak, tetapi karena kesibukan yang luar biasa pemerintah Nepal, maka seakan terabaikan dan tanpa harapan.
Desa tua yang dikelilingi bukit pegunungan Himalaya ini seharusnya indah karena hadirnya bangunan tua yang artistik dan landscape persawahan dan gunung yang eksotis. Namun gempa dashyat meluluh lantakkan desa ini. Sekitar 70 {0d9a08d3a9b53815e006f460673235ae82ce9661828f50b4e307921959270287} desa ini hancur dimana terdapat 228 rumah rusak berat, 157rusak sedang dan 148 rusak ringan. Celakanya tiap rumah bukanlah ditempat satu keluarga, tapi secara acak rata dihuni 6 sampai 7 keluarga, sehingga desa yang dihuni 35-40 ribu jiwa ini mengalami “pengungsi bencana” yang massif.
Dalam segala kerentanan karena mimimnya data kependudukan karena banyaknya penduduk pendatang yang menyewa rumah tanpa identitas yang jelas, desa ini mencatat korban meninggal sebanyak 20 orang dan 200 orang lain terluka berat, selain ratusan lain yang cedera ringan. 3 bangunan sekolah negeri menambah lumpuhnya kegiatan anak-anak di kota ini dan ratusan lain yang terkena depresi ringan karena hancurnya rumah dan hilangnya harta benda yang dimiliki.
Pasti tidak mudah memulai dengan menjanjikan upaya kemanusiaan yang berujung pada harapan agar desa ini akan bisa melakukan pemulihan kembali dengan sempurna. Kendati kebanyakan penduduknya adalah kelompok kelas sosial ekonomi bawah, maka upaya kemanusiaan harusnya tidak menjadikan mereka hanya sebagai obyek proyek kemanusiaan agar sebuah rencana besar dan nama baik bangsa atau organisasi terjaga. Proses selanjutnya adalah menemukan kapasitas masyarat yang ada dan diperkuat dengan upaya-upaya kemanusiaan yang memartabatkan manusia lain.
Permintaan hadirnya bantuan kesehatan yang menjadikan tim kemanusiaan Indonesia memilih karena kesepakatan seluruh pemangku kepentingan masyarakat, pimpinan desa, komisi kesehatan desa dan kepala Puskesmas semuanya ingin di”wongke”. Bantuan sporadis yang selama ini diterima lebih sifatnya “hit and run”. Bahkan kepercayaan mulai menurun karena pernah diminta data oleh beberapa tim kesehatan , tetapi hanya menjadi obyek jualan kemanusiaan dengan beberapa pemuliaan diri melalui adegan-adegan foto yang diambil untuk masuk dalam etalase kebaikan para tim terdahulu.
Ketika kesepakatan diambil, maka permintaan untuk menjadikan upaya kemanusiaan ini sebagai kolaborasi ditegaskan dari awal. Masyarakat harus memiliki pelayanan kesehatan dalam bentuk rumah sakit lapangan ini. Kelompok pemuda, ibu-ibu dan semua bagian masyarakat diharapkan terlibat mulai dari penurunan barang yang berat, sampai pada berbagai persiapan yang memerlukan bantuan tenaga yang banyak. Sejatinya karya kemanusiaan yang hanya menjadikan masyarakat sebagai hanya penerima manfaat pasif adalah awal ketergantungan, yang menjadikan banyak kasus di paska Tsunami Aceh Nias 2014 menjadi pembelajaran berarti tentang rusaknya kesetekiawanan kemanusiaan.
Ketika harinya tiba, tidak dinyana ratusan masyakat mengerubung dan memancarkan wajah-wajah sumringah melihat hadirnya truk-truk pengangkut perangkat rumah sakit lapangan. Di tengah naiknya matahari yang semakin terik seorang pemimpin berteriak, “Aawunu hosh ra uni haru lai madad garnu hosh!” yang berarti ‘Ayo kumpul, bantu mereka untuk kita’. Selanjutnya adalah peragaan manusia-manusia yang tegar dan tidak mau dikalahkan oleh bencana yang dahsyat. Dengan kegembiraan, masyarakat desa Satungal membantu, tua-muda, perempuan-laki laki dan bahkan anak-anak melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk menolong.
Alhasil, pembangunan rumah sakit yang dengan tingkat kesulitan tinggi bisa diresmikan dengan cepat oleh yang Mulia Duta Besar Indonesia pada saat yang tepat dan dalam waktu yang singkat. Pemerintah dan rakyat Indonesia senang untuk mewujudnya bantuan kemanusiaan yang massif ini. Sejatinya cerita kemanusiaan yang indah telah terjadi di desa dengan ketinggian 3000 meter diatas permukaan laut ini. Manusia Nepal ternyata tidaklah berbeda dengan manusia Indonesia. Ada jalinan rasa yang mampu melampaui sekat-sekat perbedaan, ketika manusia yang satu mau menjadi teman bagi manusia yang lain dengan tulus.
Etika pemberdayaan manusia bukanlah sebuah bagian dari teknis kebijakan yang kadang rumit untuk diterjemahkan. Bahasa kita untuk memartabatkan manusia lain adalah bahasa hati, yang dalam dan sejuk , mampu menyatukan ketika yang satu membutuhkan sementara yang lain diberkati untuk menjadi berkat. Bahasa kemanusiaan itulah yang hadir di desa Satungal. Indahnya Satungal berarti “menjadi satu”, manusia disatukan dalam bencana yang seharusnya menyedihkan. Semangat kemanusiaan itu dimiliki oleh semua, ketika Indonesia hadir, bahasa yang digunakan adalah bahasa kemanusiaan dan ditanggapi oleh masyarakat Nepal dengan bahasa yang sama, kendati berbeda kata-kata.
Revolusi mental telah terjadi melampaui batas-batas geopolitik Negara Indonesia. Di tanah Nepal yang berduka, segelintir orang Indonesia diajarkan oleh sesamanya manusia makna indahnya memakai bahasa yang sama, bahasa kemanusiaan.
Thamel, Kathmandu – 5 Mei 2015
Jonathan Victor Rembeth
LO bagi Delegasi Indonesia ke Nepal
Wakil Ketua Dewan Pengurus
Humanitarian Forum Indonesia
Photo by: Joko Ardi (Relawan Indonesia)