Komite Internasional Palang Merah (ICRC) bersama dengan the Overseas Development Institute – Humanitarian Policy Group (ODI-HPG) menyelenggarakan serial konferensi yang mengumpulkan para pembuat kebijakan dengan pelaku kemanusiaan nasional dan internasional. Serial konferensi ini akan menjangkau isyu-isyu yang termasuk: model kemanusiaan apa yang baik, tingkat kedekatan yang dibutuhkan pelaku kemanusiaan dan bagaimana hal-hal di luar sistem formal dapat mempengaruhi debat mengenai masa depan aksi kemanusiaan. Konferensi kedua ini bertempat di Jakarta/Indonesia pada bulan Februari 2016, lanjutan dari konferensi pertama di Beijing/China pada bulan Oktober 2015.
Untuk lebih memahami tantangan-tantangan baru dan pendekatan kemanusiaan yang baru, ICRC,ODI-HPG dan Humanitarian Forum Indonesia menyelenggarakan sebuah konferensi yang berjudul “Refreshing Humanitarian Action: Developing and Reframing Responses to Meet A New Challenge” pada tanggal 24-25 Februari 2016 di Grand Mahakam Hotel, Blok M, Jakarta, Indonesia.
Konferensi dibuka dengan refleksi pengalaman saat Indonesia memimpin pemulihan dan rekonstruksi di Aceh dan Nias yang terkena tsunami tahun 2004 yang menewaskan lebih dari 230 ribu orang di Indonesia saja.
Konferensi ini membahas bagaimana di Asia terdapat yang dinamakan pelaku “non-traditional” yang nyatanya adalah institusi tradisional dan praktik dengan sejarah panjang kemanusiaan. Ini termasuk organisasi berbasis agama seperti Muhammadiyah dan Buddha Tzu Chi. Dengan keberadaan organisasi-organisasi seperti ini yang bisa dibilang cukup lama berdiri, inovasi-inovasi seperti apa yang dilakukan lembaga-lembaga ‘tradisional’ ini dalam masyarakat modern yang mendukung aksi kemanusiaan dan bagaimana tradisi tak tertulis dihubungkan dengan legal formal dan proses pembuatan kebijakan, sebagaimana dengan media sosial dan aktivitas public.
Selain itu, dalam konferensi ini juga dibahas tentang peran negara dalam pelaksanaan Hukum Kemanusiaan Internasional (IHL), bagaimana pelaksanaan hukum, prinsip dan etik kemanusiaan yang berkembang di level lokal, nasional dan internasional, bagaimana memfasilitasi kerjasama dalam penanggulangan bencana. Hal yang ditekankan dalam pembahasan tersebut adalah memahami walaupun kebijakan dan kerangka kerja tertulis penting untuk dilakukan, namun tidak pula menyingkirkan fakta bahwa ada budaya, prinsip dan etnik yang berakar dalam tradisi budaya dan kearifan lokal masyarakat terdampak, begitu juga dengan konsep dan pengajaran religious. Hal ini termasuk konsep bersyukur, melayani dan mengorbankan diri untuk sesame, dan kewajiban dalam adat budaya untuk menghargai dan melindungi segala kehidupan. Pendekatan ini menjadikan organisasi berbasis komunitas dan organisasi berbasis agama sangat diterima oleh masyarakat terdampak. Selain itu juga, pendekatan lintas agama berkontribusi dalam upaya perdamaian dan mendukung jalannya aksi kemanusiaan dalam beragam komunitas. Tak lupa konferensi ini juga membahas aksi kemanusiaan dalam tema menuju keberlangsungan (sustainability) dan upaya-upaya global.