Kegaduhan perihal hadirnya manusia-manusia perahu di perairan Asia Tenggara dan akhirnya sebagian besar diantaranya terdampar di Indonesia menjadi berita yang tidak bisa diabaikan pada pekan terakhir ini. Seakan sebagai musim yang berulang ribuan warga Bangladesh dan Myanmar terdampar di Aceh Utara. Kebanyakan dari mereka adalah warga Rohingya yang harus meninggalkan “tanah asal” yang sudah tidak lagi bersahabat dengan mereka. Penindasan yang berlebih membuat mereka mengambil pilihan dengan risiko tinggi di negeri yang lebih baik dan memanusiakan mereka.
Namun tidak selalu harapan itu menjadi kenyataan, karena banyak dari anatara mereka harus melalui penderitaan lain menjadi korban para Tekong yang memanipulasi manusia, dan perlakuan membinatangkan manusia dalam perjalanan perahu mereka. Tidak sedikit dari mereka mati dalam perjalanan dan tiba dalam keadaan yang sangat lemah di tanah terdampar mereka. Ironisnya, seperti yang digambarkan dalam sebuah karikatur yang beredar, tidak ada Negara-negara yang bersedia menerima mereka sebagai sesama manusia.
Kompleksitas yang dihadapi para manusia perahu ini memang membuat Negara-negara tempat terdamparnya tidak mudah untuk mengambil keputusan. Ada hukum internasional yang harus dipatuhi, selain menjaga kedaulatan diplomasi masing-masing Negara. Kabar yang tidak enak sempat beredar, bahwa Indonesiapun seakan tidak memberi angin untuk masuknya mereka ke teritori bumi pertiwi. Kesimpangsiuran penerimaan mereka, membuat was-was apakah pemimpin bangsa ini masih memiliki hati nurani sebagaimana yang diamanatkan Pancasila dengan keyakinan “kemanusiaan yang adil dan beradab”
Tangisan para pengungsi yang sampai mengatakan, “lebih baik kami mati di pangkuan saudara kami Muslim Aceh, daripada harus menerima siksaan setiap hari dari militer dan aparat pemerintah Burma”, menjadikan beberapa pihak tergerak. Bukan saja desakan dari pihak komisi tinggi PBB untuk pengungsi (UNHCR), tetapi juga datang dari masyarakat dan perwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat. Bagaikan bola salju yang membesar, desakan akan hadirnya kepekaan kemanusiaan melebih aspek keamanan dan pertahanan terus bergulung melampaui semua sektor di tanah air.
Angin segar berembus ketika akhirnya kepala Negara, Presiden Republik Indonesia meminta lembaga terkait mengutamakan prinsip kemanusiaan untuk menangani manusia perahu yang menderita ini. Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto melanjutkan apa yang yang dikatakan Presiden dengan mengatakan, “pakai prinsip-prinsip yang ada di global untuk masalah-masalah pengungsi, utamakan kemanusiaan dalam menangani masalah Rohingya”. Perintah panglima tertinggi ini sudah tentu menjadi dasar bagi siapapun di negeri ini untuk memperlakukan sesama manusia dengan baik dan benar.
Kelegaan karena keputusan yang “memanusiakan manusia lain” itu dari seorang pemimpin bangsa sudah tentu memperkuat kerja-kerja kemanusiaan yang sudah dilakukan sebelum pernyataan itu dilontarkan secara formal. Sejatinya ada ataupun tidak ada pernyataan seperti itu, kerja-kerja kecil kemanusiaan yang berbasis panggilan nurani memartabatkan manusia lain sudah dilakukan oleh beberapa pihak. Tanpa mengharapkan pujian dan penghargaan, beberapa anak bangsa yang tahu bahwa kemanusiaan adalah jati diri penting dari bangsa ini telah mempraktekkan apa yang dianggap benar.
Kerja-kerja kecil ini tanpa menunggu komando resmi sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang terpanggil karena melihat ada manusia lain yang harus dimanusiakan dalam kondisi mereka yang sangat rentan. Dengan kapasitas yang dimiliki, lembaga sepeti PKPU, Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat serta mitra-mitra mereka baik dalam koalisi Humanitarian Forum Indonesia maupun lembaga internasional yang seazas melakukan tindak tanggap kemanusiaan dengan mengusahakan keperluan primer para pengungsi.
Kaji cepat kebutuhan dilakukan dan bantuan dengan melihat apa yang bisa diberikan sesegera mungkin diupayakan oleh kelompok-kelompok berbasis masyarakat ini. Pertemuan-pertemuan koordinasi bagi terselenggaranya pelayanan kemanusiaan yang berkualitaspun dilaksanakan. Pada gilirannya kebersamaan tetap dijaga dan koordinasi yang melibatkan berbagai pihak dan organisasi yang peduli pada pemartabatan manusia memampukan upaya-upaya “filling the gap” dan berbagi kapasitas untuk pendampingan saudara-saudara sesama manusia Rohingya yang sedang menderita.
Sebuah generasi baru yang merevitalisasi makna nilai kemanusiaan sejatinya sudah dan sedang timbul membesar sejak Indonesia kerap dilanda bencana. Dan generasi ini bukanlah generasi yang primordial apalagi sektarian yang hanya berpikir pada membantu dan menolong yang berlatar belakang atau identitas sama. Generasi ini adalah generasi baru Indonesia yang melihat kemanusiaan sebagai panggilan utama pribadi maupun secara kelompok. Buat mereka, isu kemanusiaan adalah bukan saja isu nasional, tetapi juga isu internasioanal yang melampaui batas-batas geopolitics sebuah Negara.
Bukan hanya Rohingya, tetapi ketika Haiyan menerpa Filipina, gempa menghantam Nepal dan bahkan penyerbuan menghancurkan Gaza, kelompok ini mampu berkarya dengan karya-karya kecil yang bisa saja minim publikasi namun kaya dengan dampak. Sebuah nawaitu baru sedang dihidupkan kembali di tengah bangsa yang seakan mulai kehilangan model dan karya baik yang memperkuat nilai dan cita-cita para “founding fathers” bangsa ini. Kelompok ini sudah mengibarkan dwi warna dalam sanubari insan-insan Indonesia dan melengkapi upaya-upaya diplomasi “soft power” Negara di kancah global.
Ketika Indonesia membutuhkan simbol-simbol pemersatu bangsa, maka para pejuang kemanusiaan inilah yang membawa asa baru akan Indonesia yang majemuk namun bersatu untuk memanusiakan manusia lain. Kasus Rohingya kembali memperkuat panggilan yang tak pernah akan usang dari sendi –sendi pembangunan bangsa ini, yaitu pemartabatan manusia. Negara Bangsa Indonesia harusnya bersyukur bahwa ada kerja-kerja kecil yang dilakukan untuk terus dan terus merekat kekuatan manusia-manusia Indonesia, kekuatan itu dimulai dari para pekerja kemanusiaan.
Indonesia masih ada, Indonesia masih kuat, dan Indonesia masih akan terus mampu menjadi model bagi bangsa lain, ketika Indonesia mau berperahu bersama dengan manusia lain mengarungi kerasnya upaya-upaya penindasan dan pelecehan makna kemanusiaan. Kebangkitan Nasional dimaknai dengan kebangkitan baru karya-karya kemanusiaan yang apik dan tanpa pamrih.
=======================================================
Untuk semua temanku penggiat kemanusiaan di HFI dan semua yang lain.
Ciater, di hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2015
Victor Rembeth
Ket: Penulis adalah Ketua Dewan Pengurus Humanitarian Forum Indonesia