Kampus yang sedang naik daun karena baru saja menghasilkan presiden ke 7 Indonesia mendadak jadi gegap gempita dengan sebuah harapan baru menjadikan Indonesia negeri yang tangguh menghadapi bencana. Perhelatan Ikatan Ahli keBencanaan Indonesia (IABI) yang menggelar Pertemuan Ilmiah Tahunan kedua sangatlah menjanjikan untuk masukan berbobot bagi upaya upaya penanggulangan bencana yang cerdas. Ada sebuah gagasan besar bahwa kendati rawan, namun bangsa ini tidak ingin menyerah pada fatalistik akut dengan menyerah pada risiko yang ada. Sebaliknya, ada semangat melawan untuk lepas dari kekuatiran akan ancaman dengan mau bermain aktif dalam potensi yang ada untuk menjadi laboratorium bencana yang mumpuni.
Pagelaran yang mengusung tema “Membangun Kemandirian Industrialisasi dan Teknologi Berbasis Riset Kebencanaan Indonesia”, ini jelas memiliki visi untuk tidak menjadikan negeri ini hanya sebagai pasar produk bangsa lain, tetapi ingin mulai menunjukkan bahwa banyak yang bisa dikerjakan oleh anak anak bangsa. Dalam ruang-ruang diskusi besar, kelompok dan percakapan informal, optimisme untuk mencapai visi tersebut disuntik baik secara searah maupun partisipatoris. Pameran karya putra putri Nusantara yang dipertontonkan menambah pembuktian bahwa secara akademis dan ilmiah Indonesia bisa.
Komitmen untuk bisa menjadikan praktik baik ilmiah yang ditelorkan oleh para putra putri terbaik bangsa ini bukan saja hanya untuk sekedar menghasilkan output hasil penelitian ilmiah tapi juga bisa dipakai dengan baik dibuktikan dalam pengorganisasiannya. Pertemuan ini berusaha meretas lingkaran setan ketidakterpakaian karya-karya penelitian yang ada dengan pengguna dan bahkan pemasar. Oleh karenanya forum ini bukan saja dihadiri oleh peneliti dan perekayasa saja, namun juga dilengkapi dengan pengguna seperti lembaga usaha dan organisasi lembaga swadaya masyarakat baik nasional dan internasional dalam bidang kebencanaan. Sungguh sebuah ajang bursa penggunaan karya ilmiah dalam dunia nyata rawan bencana yang sangat memerlukan inovasi baru anak-anak bangsa terbaik.
Namun seakan sebuah menu prasmanan, dalam perhelatan ilmiah multi disiplin, forum ini menghidangkan sajian pilihan yang sangat sarat dengan topik topik berbasis “natural science”. Hasil hasil penelitian yang berbasis hazard dan rekayasa pengurangan risikonya secara teknologi terkesan mendominasi pengelompokan pembahasan yang ada. Sementara penekanan topik dan pendekatan yang mengacu pada aspek sosial kebudayaan harus berdesakan dikelompokkan dalam satu kelompok kerja dengan nomor buncit pengorganisasian yaitu kelompok nomor 9 dari 9 yang ada. Sudah tentu penomoran ini tidak selalu diburuksangkakan sebagai kesengajaan akan kurang pentingnya pendekatan ilmu sosial budaya dibanding dengan mitranya yang berbasis non sosial budaya. Kesesakan yang terjadi justru menimbulkan interaksi antar sub kelompok ilmu sosial dan budaya yang saling memaknai.
Kendati sesak dan cenderung tersebar, namun penelitian kelompok ilmu-ilmu sosial budaya mampu menyajikan penyajian yang menyentak. Sentakan yang diberikan oleh para peneliti di sektor ini adalah pembuktian bahwa ketangguhan bisa dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yang non-positivisitik. Mulai dari persoalan kebijakan, sampai dengan tantangan kesetaraan gender, peran tokoh lokal dan bahkan pariwisata menjadikan kelompok kerja ini bagaikan hidangan padang dengan menu yang segar, pedas dan menjadikan isu pengurangan risiko bencana menjadi meriah dan bervariasi. Berbagai asupan sub disiplin ilmu-ilmu sosial budaya berlomba untuk memastikan bahwa di Indonesia banyak aspek-aspek non positivistik yang bisa memperkuat kapasitas dan ketangguhan masyarakat ketika harus berhadapan dengan risiko bencana. Dalam diskusi yang ada terungkap bahwa berbicara soal ketangguhan adalah berbicara bukan saja dari sisi ancaman, tetapi juga sangatlah penting pendekatan “human oriented” yaitu memperhatikan manusianya yang bisa ditinjau dari sudut sosiologis, antropologis dan bahkan psikologis.
Indonesia sebagai daerah rawan bencana ternyata memiliki ketangguhan berdasarkan pada “manusia Indonesia” baik secara individu, berkelompok dan sampai bernegara. Kajian-kajian sosial budaya yang dibedah memperkuat analisa berdasarkan konteks Indonesia bahwa semua disiplin ilmu harus dapat diberikan tempat yang sama secara komplementer untuk bisa saling mengisi agar dapat menyajikan sebuah ketahanan masyarakat dan bangsa yang mendekati sempurna. Ketika kajian-kajian sosial budaya semakin banyak dilakukan, maka sudah tentu pendekatan ini tidak bisa lagi dipandang secara sebelah mata sebagai pelengkap. Kajian dari perspektif ini justru kajian mendasar untuk dapat menjadi basis acuan terselenggaranya hasil-hasil kajian teknologi yang canggih. Sebuah sistem peringatan dini hampir pasti sulit untul diaplikasikan bila kondisi masyarakat di daerah rawan ancaman bencana yang ada tidak diposisikan sebagai pemilik dan didorong kesana berdasakan kajian sosial budayanya.
Sudah tentu forum pertemuan ahli kebencanaan ini sedikit banyak telah menghasilkan kontestasi keilmuan yang menjadikan ilmu kebencanaan semakin menarik untuk dicermati. Dalam kontestasi inilah semua pihak dijerumuskan untuk semakin mendalami disiplin masing-masing bukan hanya secara lebih ilmiah yang sektoral, tetapi justru membuka diri untuk dapat melakukan proses proses kolaborasi keilmuan yang apik. Dalam menerima kebenaran yang dihasilkan oleh satu pendekatan disiplin ilmu maka harus juga dapat dikaji kajian kebutuhan untuk celah kekosongan yang ada yang memungkinkan untuk dapat diisin dengan disiplin ilmu yang lain. Pendekatan yang kaku dan merasa sebagai disiplin ilmu mahkota yang terbaik dibanding dengan ilmu yang lain haruslah ditinggalkan. Kebersamaan dalam profesionalisme harusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dalam melakukan analisis ilmiah kebencanaan.
Sebuah fatsun baru dalam berilmu sedang berproses dalam sebuah lapangan akademis yang bertajuk kebencanaan. Kebersamaan merupakan sebuah tarikan yang mengikat dan bukan menceraiberaikan berbagai disiplin ilmu yang sudah ada untuk berkarya baik bersama. Ketika seluruh anak bangsa menyadari bahwa Indonesia merupakan negeri rawan bencana, maka semua potensi kelimuan harus diupayakan menjadi kapasitas yang memperkuat ketangguhan bangsa. Indahnya, kebencanaan bisa menjadi perekat yang memperkuat bahwa semua ilmu sama berguna untuk bisa mencapai cita-cita bangsa yang tangguh dan kuat menghadapi bencana. Oleh karenanya ketika ilmu-ilmu sosial dan budaya bisa berdampingan dengan kelompok ilmu-ilmu alam dan positivistik, maka disitulah mulai tercipta sebuah proses untuk menjadikan Indonesia sebagai center of excellence in disaster management science.
Jalan panjang masih harus dilalui untuk bisa menempatkan kesetaraan dalam berbagai disiplin ilmu yang ada ,sekaligus menghargai kontestasi keilmuan sebagai sesuatu yang mendatangkan berkat dan mudarat bagi bangsa ini. Namun satu hal yang pasti, langkah pertama telah dibuat untuk bisa melangkah ke dalam ribuan tapak kaki ke depan untuk merayakan kekayaan keilmuan Indonesia, tanah dan airku yang rawan bencana. Indonesia tangguh karena bangsanya cerdas dan bekerja sama. Dirgahayu keilmuan Indonesia.
Cikini 29 Mei 2015
Victor Rembeth
(Ketua 2 Dewan Pengurus HFI)