OKTOBER, menjadi bulan yang selalu dinantikan oleh para pelaku Penanggulangan Bencana (PB) di seluruh belahan dunia. Pada bulan ini, tepatnya hari ini, 13 Oktober menjadi saat suka cita peringatan bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) bagi masyarakat peduli PB. Aneka kegiatan digelar secara suka cita setiap tahunnya.
Di tingkat nasional, Indonesia memperingati bulan PRB pada 13 – 15 Oktober 2016 di Kota Manado. Ini adalah peringatan yang ke 4 kalinya sejak tahun 2013 lalu. Tema peringatan tahun ini adalah ‘Gerakan Pengurangan Risiko Bencana untuk Ketangguhan’. Tema tersebut sesuai dengan semangat Nawacita dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, dalam rangka ‘Menurunkan indeks risiko bencana pada pusat-pusat pertumbuhan’.
Tema yang diambil mengingatkan kita bahwa PRB harus menjadi suatu gerakan untuk pengurangan risiko dari tingkat lokal hingga nasional. Baik dalam kehidupan keseharian masyarakat hingga kebijakan dan regulasi yang memayungi di tingkat daerah hingga nasional. Namun demikian yang perlu direnungkan adalah bagaimana memastikan agar semangat PRB tersebut telah diinternalisasi oleh masyarakat dalam keseharian.
Juga bagaimana isu PRB melekat dan menjadi prioritas pertimbangan dalam pembuatan kebijakan dan regulasi bagi pemerintah. Karena pada kenyataannya kejadian bencana di 10 tahun terakhir didominasi oleh bencana hidrometeorologi yang disebabkan karena perubahan iklim dan cuaca.
Penyebab utamanya tidak lain adalah karena perusakan lingkungan dan pemanasan global yaitu adanya peningkatan emisi karbon dari aktivitas industri, penggunaan pupuk kimia, penebangan pohon, transportasi yang tidak ramah lingkungan yang seolah-olah tidak bisa dihindari karena sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan dampak perubahan iklim dan cuaca menyebabkan banjir, longsor dan puting beliung makin meningkat di Indonesia. Menurut Sutopo, lebih dari 95 persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi yaitu bencana yang dipengaruhi oleh faktor cuaca dan iklim seperti banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, dan gelombang pasang (http://erabaru.net)
Menurut Sutopo, selama 2016, berdasarkan data sementara hingga 17 Juni 2016, telah terjadi 1.053 kejadian bencana di Indonesia menyebabkan 157 orang meninggal dunia dan lebih dari 1,7 juta jiwa menderita dan mengungsi serta ratusan ribu rumah rusak akibat bencana.
Data ini menunjukkan bahwa dampak bencana yang diterima masyarakat lokal masih besar dan menghancurkan aset-aset penghidupan. Tetapi di sisi lain kegiatan peningkatan kapasitas untuk mitigasi dan kesiapsiagaan terus dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat sipil serta sekolah-sekolah.
Menjadikan desa tangguh bencana, sekolah siaga bencana, kabupaten/kota tangguh bencana menjadi tujuan besar dalam tema-tema program untuk pengurangan risiko bencana. Setiap program menyajikan berbagai aktivitas pelatihan, studi banding, dukungan pendanaan secara hibah, hingga pelaksanaan lokakarya untuk menghasilkan kebijakan dan regulasi untuk pengurangan risiko.
Namun demikian gerakan tersebut belum sampai pada tataran internalisasi masyarakat dan pengambil kebijakan. Lagi-lagi terjadi aktivitas pembangunan yang berisiko, seperti misalnya pembangunan mall dan hotel yang begitu masif di Yogyakarta yang berdampak pada kuantitas air warga sekitar.
Penambangan pasir di daerah-daerah pemukiman, hilangnya daerah resapan demi bangunan beton yang berdiri di atasnya, penebangan pohon tanpa tebang pilih yang memicu longsor dan banjir bandang. Serta respon darurat untuk kebakaran lahan dan hutan seperti menjadi agenda rutin tiap tahunnya.
Terbentuknya tim siaga baik di desa maupun di sekolah belum menjamin kesiapan mereka untuk menghadapi bencana yang sesungguhnya karena simulasi rata-rata hanya dilakukan sekali pada saat ada dana dari pihak luar yang mendukung. Program pembangunan di tingkat desa belum menyasar kebutuhan perlindungan aset penghidupan warga dari ancaman bencana. Lalu inikah yang disebut dengan ketangguhan?
Sepuluh tahun berlalu semenjak pemerintah Indonesia menandatangani komitmen global untuk kerangkan aksi pengurangan risiko bencana (Hyogo Framework for Action 2005-2015). Sepuluh tahun pelaksanaan HFA, terdapat pencapaian dari pandangan garda depan di level lokal yg langsung berhadapan dengan bencana (hasil monitoring di tingkat lokal “Views from the Front Line 2009 – 2015” yang dilakukan oleh YAKKUM Emergency Unit bekerjasama dengan Forum PRB DIY).
Mereka adalah masyarakat, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah daerah yang berada di kabupaten hingga desa dan dusun. Pelaksanaan kerangka kerja global HFA dianalogikan sebagai “Mendung Tapi Sedikit Hujan”, artinya perubahan di tingkat lokal belum dirasakan secara signifikan. Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi yaitu:
Kini Indonesia telah turut berkomitmen untuk kerangka aksi PRB 2015 – 2030 dalam Sendai Framework for Disaster Risk Reduction (SFDRR). Adanya komitmen global ini tentunya perlu diturunkan menjadi komitmen dan kebijakan di tingkat lokal agar pencapaian PRB di masyarakat dapat dirasakan secara signifikan. Pembelajaran berharga dalam HFA yang perlu menjadi referensi dalam pelaksanaan SFDRR adalah:
Oleh karena itu rekomendasi Forum PRB DIY untuk pelaksanaan PRB oleh para pihak adalah sebagai berikut:
Deklarasi yang akan dihasilkan nantinya di Kota Manado, hendaknya menjadi dokumen yang selalu dirujuk untuk pelaksanaan PRB bangsa Indonesia setahun kedepan. Selamat Memperingati Bulan Pengurangan Risiko Bencana 2016, Daratkan dan Lakukan Komitmen Global Serta Kebijakan Nasional Hingga Tingkat Lokal untuk Pengurangan Risiko yang Lebih Signifikan.
Penulis: Ranie Ayu Hapsari, Koordinator Forum PRB DIY, staf Yakkum Emergency Unit anggota dari Humanitarian Forum Indonesia dan Konsorsium Pendidikan Bencana – Indonesia
Keterangan foto: Banjir di Grobogan tahun 2016 (Dok : Krjogja.com)
Sumber Berita: http://krjogja.com/web/news/read/12437/Kerangka_Aksi_Global_dan_Ketangguhan_di_Tingkat_Lokal