Talk Show “Compassion” Karen Armstrong

Talk Show “Compassion” Karen Armstrong: Menambah Inflasi Moral Message, atau modal sosial untuk membangun Moral Leadership & Moral Incentive?

“Hari ini terasa sangat istimewa, karena setelah 10 tahun, Mizan berusaha mendatangkan Karen Armstrong ke Indonesia, baru kali ini Beliau berkesempatan datang, dan saya kira ini bukan sebuah kebetulan, tetapi kehendak Tuhan di ulang tahun Mizan yang ke-30 ini,” demikian sambutan pengantar Mizan yang disampaikan mas Irvan.

Bukan hanya Mizam saja yang dibuat kagum karena telah menerbitkan 8 buku dari 22 buku Karen, yang kesemuanya laku keras melebihi terbitan buku aslinya, saya yang baru semalam membaca buku Compassion yang diberikan mbak Hening benar-benar dibuatnya kagum. Dia bukan hanya meyakinkan compassion sebagai intersection semua Agama-Agama bahkan juga yang tak beragamapun, tetapi menyadarkan bahwa semua agama-agama rupanya mempunyai satu roh yang sama yaitu compassion. Dengan studi historis antropologis antar agama-agama, dia berhasil memaparkan kembali ide compassion bukan sebagai dogma keagamaan tetapi sebagai fakta kebenaran antar agama yang dikubur jaman, yang perlu dikuak kembali, dan dijadikan bintang pengharapan di masa mendatang. Dengan demikian memang hari sabtu itu terasa sangat irtimewa bagi keluarga HFI sebagai penyelenggara talk show ini.

Talk Show dibuka oleh tuan rumah Muhammadiah yang diwakili oleh si penjaga gawang mas Abdul Mukti, yang menyambut semua peserta dengan penuh antusias. Mas Mukti mengapresiasi diskusi compassion ini dengan mengingatkan akan image Allah SWT yang bukan hanya “hu Akbar”, tetapi juga “ar Rahman” dan “ar Rahim”.

Compassion adalah wajah Ar Rahman dan Ar Rahim Allah SWT. “Allah hu Akbar sering diimangekan dengan wajah bengis Islam, karena sering diidentikan dengan ajakan lempar batu“ canda Mas Mukti. Mas Mukti sebagai salah satu Pembina HFI juga mengingatkan sejarah kelahiran HFI yang sejak kelahirannya berkantor di Muhammadiyah benar-benar mempraktekan compassion antar iman dari bencana satu ke bencana lain di Indonesia.

Sambutan pengantar dilanjutkan oleh Mas Irvan, yang selain mengutarakan hal diatas, juga menyampaikan bagaimana sejarah Mizan, konsekuensi sebagai “jembatan” yang “diinjak-injak orang” namun tetap berusaha adil sebagaimana arti Mizan adalah timbangan. Bukan hanya berhenti dalam menerbitkan buku, Mizan juga aktif mempromosikan Charter for Compassion atau piagam belas Kasih di Indonesia. Semuanya diarahkan untuk mewujudkan Islam sebagai Rahmatan Allamin, dengan visi ke depan agar Indonesia sebagai Compasionate Nation.

Inti dari talk show ini adalah pemaparan singkat dari Karen Armstrong, yang pada intinya menjelaskan sebagaimana yang disampaikan di prakata buku terbarunya yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Mizan “12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih” (jangan lupa membeli buku ini di Mizan). Dalam pengantar itu, Karen menyelaskan kegundahannya terhadap situasi dunia yang berbeda dengan ide buku History of God yang menjadi bestseller dunia. Ketika dia mendapat penghargaan dari TED Prize Wish, tentang “ide-ide yang pantas disebarluarkan di seluruh dunia” yang mana TED akan berusaha mewujudkannya, maka Karen memasarkan “compassion“ sebagai interseksi antar agama-agama yang bisa menjadi jembatan perdamaian umat manusia. Selanjutnya, seluruh pimpinan 6 agama besar di dunia berkumpul di Swiss dan menghasilkan “Charter for Compassion” yang saat ini telah ditandatangani jutaan orang.

Selain itu, tahun 2010 Seatle dinobatkan sebagai “Compassionate City” saat ini berkembang menjadi 12 kota, dan diharapkan dalam 10 tahun kedepan menjadi 100 kota yang akan saling menjadi ‘sisters’ satu sama lainnya. Compassion tidak diartikan sempit sebagai belas kasihan, tetapi sikap aktif yang menghantam egosentris atau selffulfilness kita, yang menempatkan orang lain dalam posisi dirinya, sebagaimana ajaran “lakukan apa yang orang lain ingin lakukan kepadamu” dan sebaliknya. Dalam prakata buku dijelaskan panjang lebar tentang makna compassion, baik dari pemikiran awal Konghucu, Buddha, Hindu, Judaism, Kristiani, dan Islam. Sayang Karen hanya beberapa hari di Jakarta, kalau agak lama akan saya perkenalkan filsafah Jawa “Tepo Sliro” untuk mempersingkat penjelasan dia.

Pengantar Karen tersebut ditanggapi oleh tiga tokoh agama. Pertama Romo Heru Prakkosa, yang mengingatkan makna gelar orang yang sudah meninggal yaitu Almarhum (ah) yang berasal dari Al-Marhum , dari kata arche (Yunani) yang “awal” substansi asli alam semesta , Rahma-Rahim kembali ke aslinya, dalam kandungan Tuhan. Compassion adalah sifat asli penciptaan. Pertanyaannya bagaimana (how to) menstrukturkan compassion ini dalam kehidupan biasa sehari-hari, tidak hanya di saat krisis atau ada bencana.

Penanggap kedua adalah Pdt. Martin Sinaga. Beliau mengapresiasi Karen karena karyanya menjadi bacaan wajib di sekolah Theologia. Beliau menanyakan bukan hanya soal how to learn antar agama, tatapi yang lebih penting adalah unlearned apa yang perlu dipelajari dari agama-agama. Beliau menanyakan bagaimana mengatasi problem struktural dunia yang tak adil ini.

Penanggab terakhir adalah Dr. Zainul Kamal, yang mengingatkan bahwa soal cinta pada musuh, sebenarnya kita tidak punya musuh, semua adalah satu, hanya ada yang masih tertutup yang diistilahkan sebagai kafir. Istilah kafir sama dengan istilah bed “cover”, yang bukanlah musuh. Islam mengajarkan juga untuk mencintai musuh, yang menurut Dr. Zainul belum banyak diungkap Karen.

Setelah tiga penanggap, Moderator, Pdt. Jonathan Victor Rembeth, membuka floor untuk bertanya dan memberi tanggapan. Saya langsung mengacungkan tangan. Namun sayang teman saya Bung Victor lebih tertarik pada tiga penanya yang ketiganya perempuan , yang karena saya kesal nggak diberi kesempatan, saya kurang mencatat apa yang ditanyakan. Saya hanya ingat yang menjadi konsern penanya pertama teman saya yaitu Mbak Ruby Khofifah dari Asian Muslim Network yang menyatakan kekurangsetujuan kalau compassion distrukturalkan, ini akan menjadi bencana seperti halnya pemberlakuan syariah islam. Mbak Ruby menekankan perlunya menjadikan compassion sebagai roh.

Karena tidak mendapat kesempatan, pada akhir diskusi saya menemui Bung Victor: ”Pak Moderator, ini lho yang akan saya sampaikan. Di dunia ini sudah terlalu banyak bahkan boleh dikatakan INFLASI PESAN MORAL, termasuk yang digaungkan Karen ini. Hampir 80{0d9a08d3a9b53815e006f460673235ae82ce9661828f50b4e307921959270287} penduduk dunia menyatakan beriman, namun kenapa dunia bergerak ke arah yang berlainan dengan iman. Ini sekali lagi kita inflasi pesan moral, sehingga pesan moral tidak punya harganya. Yang kita butuhkan saat ini adalah MORAL LEADERSHIP yaitu keteladanan moral, dan MORAL INSENTIF yaitu tindakan nyata dan gerakan untuk menghasilkan struktur dan sistem yang mampu melahirkan enabling environment agar benih compassion berbuah, bukan tumbuh lalu mati.

Struktur dan sistem yang tidak memberi peluang bagi berkembangnya 4 F yaitu feeding, fighting, fleeing dan fucking yang disampaikan Karen. Selain itu ada satu lagi pak moderator, saya sudah baca 12 langkah menuju hidup berbelas Kasih, ternyata sulit ya tidak seperti yang saya harapkan yaitu tip-tip sederhana. Kalau menurut saya resepnya hanya satu yaitu DUIT (do it), jadi yang terpenting ya kerjakan saja (Do it) belas Kasih itu nggak usah diteorikan macam-macam, karena di dalam mengerjakan kita akan menemukan maknanya, seperti yang kita lakukan di HFI itu lho.

Acara selanjutnya adalah pembacaan dan penandatanganan Piagam Belas Kasih. Saya mendampingi mbak Hening membacakan Naskah, dilanjutkan dengan penandatangan Piagam oleh semua wakil keluarga HFI yang dilanjut semua peserta. Setelah ikut antri minta tandatangan, saya segera ke bandara, di jalan MC Talkshow mengirim email: “Pak Sigit, karena tadi notulisnya jadi MC, apa bisa bapak buat tulisan singkat untuk keluarga HFI”. Dan inilah tulisan seadanya itu.

Penulis: Sigit Wijayanta
Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM)
Beliau juga adalah salah satu Dewan Pembina Humanitarian Forum Indonesia

Share: